Rabu, 29 April 2009

Hubungan Bilateral & Multirateral Indonesia

1. Pengertian Hubungan Bilateral
Hubungan bilateral yaitu bentuk hubungan kerjasama (diplomatis) antara satu Negara (NKRI) dengan Negara atau blok Negara lainnya, yang mana Negara-negara sahabat tersebut berada di benua yang berbeda. Misalnya kerjasama bilateral antara Indonesia dengan Negara-negara eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dst), Amerika, Vatikan dan lainnya.
Hal tersebut mengacu kepada tujuan kepentingan nasional yang tertuang dalam Perpres No. 27/2005 mengenai Tiga Agenda Pembangunan Nasional guna mewujudkan masyarakat aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera. Hubungan tersebut dijalankan dalam kerangka politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati (mutual respect) dan hubungan yang saling menguntungkan (mutually beneficial relationship) baik melalui pendekatan secara kelompok maupun bilateral (group and bilateral approach).
Pola hubungan tersebut dapat kita lihat pada implementasi hubungan antara Indonesia dengan Negara-negara Eropa Barat. Negara-negara Erbar (Eropa Barat) secara umum memiliki arti penting bagi Indonesia mengingat bahwa Erbar merupakan salah satu kekuatan utama politik dan ekonomi dunia saat ini. Dukungan Erbar terhadap integritas wilayah NKRI merupakan salah satu sasaran Polugri Indonesia akhir-akhir ini. Di bidang ekonomi, Erbar merupakan pasar ekspor dan sumber impor utama bagi Indonesia. Erbar juga merupakan sumber utama investasi asing di Indonesia, khususnya di bidang pertambangan dan industri kimia. Di samping itu, dengan kemampuan di bidang IPTEK dan pendidikan yang sangat advanced, Indonesia berkepentingan untuk memanfaatkan keunggulan-keunggulan tersebut dalam kerja samanya dengan Erbar.
Hubungan bilateral RI – Erbar selalu diupayakan peningkatannya dari waktu ke waktu melalui strategi Diplomasi Total, yang diwujudkan antara lain melalui (a) penyelenggaraan Forum Konsultasi Bilateral (FKB) dan Joint/Mixed Commission (baik dengan UE maupun negara-negara individu Erbar), (b) promosi perdagangan, investasi, dan pariwisata, dan (c) pemeliharaan kontak sosial-budaya melalui pertukaran misi-misi kebudayaan secara timbal-balik. Hubungan bilateral RI – Erbar dewasa ini diprioritaskan untuk bidang-bidang kerja sama yang terkait dengan penanganan isu-isu terorisme internasional, demokrasi, good governance, dan lingkungan hidup.
2. Pengertian Hubungan Multirateral
Hubungan Multirateral yaitu hubungan Diplomatis antara Indonesia dengan Negara-negara lainnya di dunia. Contohnya yaitu bentuk kerjasama Indonesia dengan Negara-negara anggota PBB misalnya dalam organisasi IMF, WTO, WHO dst.
Implementasinya dapat kita lihat misalnya dalam keanggotaan Indonesia pada World Trade Organization (WTO).
• Latar Belakang/Sejarah Organisasi
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995. Namun demikian sistem perdagangan multilateral telah ada sejak tahun 1948 pada saat terbentuknya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan) yang memuat aturan-aturan sistem perdagangan multilateral. Sejak tahun 1948-1994 GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia yang menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi. Namun GATT sebagai sebuah organisasi beserta peraturannya masih bersifat sementara hingga kemudian digantikan oleh WTO. Meskipun GATT sebagai organisasi sudah tidak ada lagi, Persetujuan GATT 1947 dan versi barunya yang dikenal dengan GATT 1994 masih berlaku dan merupakan bagian dari seluruh persetujuan yang ada di WTO.
Sejak masih berbentuk GATT hingga menjadi WTO, peraturan-peraturan perdagangan dibentuk melalui serangkaian putaran perundingan. Putaran terakhir dan terbesar adalah Putaran Uruguay yang berlangsung dari 1986 hingga 1994 dan akhirnya menghasilkan pembentukan WTO. Kini putaran perundingan WTO telah sampai pada Putaran Doha yang berawal dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IV di Doha, Qatar, tahun 2001. Hingga kini WTO telah menyelenggarakan enam kali KTM yaitu di Singapura (1996), Jenewa (1998), Seattle (1999), Doha (2001), CancĂșn (2003) dan Hong Kong (2005). KTM Doha sendiri menghasilkan Program Kerja Doha/ Doha Development Agenda (DDA), yang menekankan pentingnya dimensi pembangunan dalam perundingan perdagangan dan prinsip Perlakuan Khusus dan Berbeda(Special and Differential Treatment - SDT) bagi negara-negara berkembang. Isu-isu pembangunan dalam DDA antara lain adalah TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights) and Public Health, penghapusan subsidi ekspor negara maju atas produk pertanian dan kapas, fleksibilitas yang lebih luas bagi negara berkembang dalam sektor jasa, pemberian akses bebas bea dan quota bagi produk-produk Least Developed Countries (LDCs) di pasar negara maju, Aid for Trade, serta penerapan prinsip SDT bagi negara berkembang dalam semua aspek negosiasi maupun hasil-hasilnya.

• Keanggotaan
Saat ini, WTO memiliki 150 negara anggota, dan 31 negara observer yang sedang menegosiasikan keanggotaannya di WTO. Perundingan di WTO dilandasi oleh prinsip-prinsip sebagai berikut: keuntungan bersama (asas resiprositas), single undertaking, yaitu setiap putaran perundingan hanya dapat diselesaikan jika seluruh aspeknya disetujui secara bersama (nothing is agreed until everything is agreed).

• Keanggotaan Indonesia
a. Kebijakan dan Posisi
Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak 1 Januari 1995. Dalam Putaran Perundingan Doha, posisi dasar Indonesia pada beberapa isu utama, antara lain:

Pertanian:
o Memperjuangkan pertimbangan khusus bagi negara-negara berkembang yang mempunyai kesulitan sosial dan ekonomi, termasuk masalah food security, rural employment dan rural development (non-trade concerns).
o Memperjuangkan agar produk yang sensitif dapat dikecualikan dari penurunan tarif melalui mekanisme special product (SP) serta memperjuangkan diterimanya konsep special safeguard mechanism (SSM).
o Menurunkan tarif produk pertanian yang tinggi di negara-negara maju, banyaknya hambatan-hambatan non-tarif (ketentuan Sanitary and Phytosanitary/SPS, Technical Barrier to Trade/TBT, standard, dsb), serta subsidi pemerintah di negara-negara maju kepada petaninya.

Akses pasar produk non-pertanian (Non-Agricultural Market Access/NAMA):
o Memperjuangkan pelaksanaan prinsip SDT dalam penurunan tarif dengan memberikan persentase penurunan tarif yang berbeda antara negara maju dan berkembang
o Mengatasi masalah tariff peaks dan tariff escalation di negara maju yang merugikan kepentingan ekspor negara berkembang
o Mengatasi masalah hambatan non-tarif dan memberikan perlakuan/perhatian yang sama dengan hambatan tarif dalam perundingan akses pasar produk non-pertanian.

Jasa:
o Fleksibilitas bagi negara berkembang dalam membuka pasar sektor jasa, sesuai dengan prioritas pembangunan nasionalnya.
o Perlu ada balanced outcome antara perundingan akses pasar dan perundingan mengenai rules making, termasuk isu Emergency Safeguard Mechanism (ESM) untuk melindungi industri jasa negara berkembang dari kerugian (injury) yang ditimbulkan oleh melimpahnya impor jasa akibat liberalisasi perdagangan di bidang jasa.

TRIPS and Public Health:
o Memperjuangkan terbukanya akses bagi negara-negara berkembang dalam memperoleh obat-obatan paten dengan harga murah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Isu ini telah disepakati dalam Keputusan General Council WTO pada tanggal 6 Desember 2005.

Isu Implementasi dan SDT:
o Memperjuangkan prioritas penyelesaian masalah-masalah implementasi persetujuan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang akibat adanya perbedaan tingkat pembangunan.

Isu-isu baru:
o Menolak untuk merundingkan isu-isu baru (trade and investment, trade and competition policy, transparency in government procurement), kecuali isu trade facilitation (TF) yang dinilai sejalan dengan kepentingan Indonesia.

b. Kepentingan
Kepentingan Indonesia dalam perundingan perdagangan di WTO berkaitan erat dengan tujuan dibentuknya WTO itu sendiri. Secara garis besar WTO memiliki beberapa tujuan penting, yaitu:

o Mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa.
o Memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen. Hal ini mengingat bahwa perundingan perdagangan internasional di masa lalu prosesnya sangat kompleks dan memakan waktu.
o Menyelesaian sengketa antar Anggota WTO, mengingat hubungan dagang sering menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Meskipun sudah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO yang sudah disepakati anggotanya, masih dimungkinkan terjadi perbedaan interpretasi dan pelanggaran sehingga diperlukan prosedur legal penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakati bersama.
Dari tiga tujuan di atas, kepentingan Indonesia yang diperjuangkan dalam setiap perundingan perdagangan di WTO pada intinya adalah, antara lain, terbukanya akses pasar bagi ekspor produk-produk barang dan jasa unggulan Indonesia, terselesaikannya masalah-masalah implementasi persetujuan-persetujuan WTO yang selama ini dirasakan cukup berat bagi negara berkembang, penguatan diberlakukannya prinsip-prinsip SDT bagi negara berkembang agar dapat berkompetisi secara sehat dalam perdagangan global, serta terlaksananya bantuan teknis yang “demand oriented” untuk meningkatkan kapasitas negara berkembang.


c. Peran Aktif
Indonesia dan negara-negara berkembang turut aktif dalam berbagai perundingan dan memberikan kontribusi maupun political pressures terhadap negara-negara kunci baik secara bilateral, maupun dalam berbagai fora internasional agar putaran perundingan dapat terus dilangsungkan dan mencerminkan semangat pembangunan sesuai dengan semangat pembangunan yang diamanatkan oleh DDA.

• Isu terkini dan Perkembangannya
Sejak akhir Juli 2006, Perundingan Putaran Doha mengalami penundaan untuk waktu yang tidak ditentukan. Upaya untuk menghidupkan kembali perundingan DDA telah berlangsung secara intensif dan para Anggota memiliki pandangan yang sama untuk dapat memulai kembali perundingan dalam waktu secepatnya agar target penyelesaian perundingan DDA pada tahun 2007 dapat terwujud. Pertemuan-pertemuan informal, baik secara berkelompok maupun bilateral, telah dilakukan dengan melibatkan Cairns Group, G-20, G-33 (Indonesia sebagai koordinatornya), AS, Brazil, China, India, Jepang, UE dan negara-negara ASEAN. Di bulan Oktober satu kelompok baru dibentuk atas inisiatif Norwegia dengan beranggotakan enam negara (Kanada, Chile, Indonesia, Norwegia, Kenya dan Selandia Baru) untuk menjembatani perbedaan posisi dari para pemain utama dalam isu-isu penting.
Untuk menggulirkan kembali perundingan DDA, Dirjen WTO telah pula melakukan serangkaian konsultasi dengan beberapa pemain utama seperti AS, Brazil, China, India, Jepang dan UE serta beberapa negara ASEAN dan Afrika. Dari hasil berbagai konsultasi intensif yang dilakukan dan dukungan politis yang disuarakan oleh berbagai kepala negara serta dorongan politis yang diperoleh dari pertemuan para Menteri Perdagangan di Davos – Swiss mengenai pentingnya pengguliran kembali perundingan DDA, pada awal Februari 2007 Dirjen WTO secara resmi menggulirkan kembali perundingan DDA (full resumption). Terhadap pengguliran kembali putaran perundingan DDA dimaksud, semua negara Anggota sepakat mengenai terdapatnya “window of opportunity” bagi penyelesian perundingan pada akhir tahun 2007. Namun demikian, kesempatan tersebut tidaklah besar mengingat masih tajamnya perbedaan posisi antar negara-negara kunci. Apabila perundingan DDA tidak dapat diselesaikan pada akhir tahun 2007 ini, maka dikhawatirkan perundingan baru dapat diselesaikan sekitar 3 atau 5 tahun lagi.

• Aktivitas Penting
Pada awal tahun 2007, Direktorat PPIH telah menyelenggarakan beberapa Seminar Round Table Discussion dan Workshops, antara lain:
a. Round Table Discussion “Perkembangan dan Tindak Lanjut Perundingan Doha Development Agenda: Upaya-upaya dan Persiapan Indonesia dalam Memperjuangkan Kepentingan Nasional”, Jakarta, 19 Februari 2007
b. “National Workshop on the Progress of Doha Development Agenda and TRIPs Agreement and Round Table Discussion: Recent Development on The Negotiations in TRIPs Council and Indonesia’s National Interest”, Jakarta 21-22 February 2007
c. Seminar Nasional Mengenai “Mekanisme Penyelesaian Sengketa WTO” di Hotel Borobudur Jakarta, Universitas Indonesia - Depok, Universitas Padjadjaran – Bandung, dan Universitas Gajah Mada – Yogyakarta, 6-8 Maret 2007
Dari kedua klasifikasi diatas, Baik bilateral maupun multirateral Bentuk hubungan keduanya dapat berupa dalam bidang ekonomi, budaya, pendidikan maupun Bachmarcking dalam hal pola pemerintahan (Good Government).

1 komentar: